Blog ini hanya sekedar sampah, tulisan sinting, ide gila, coretan belepotan yang ditulis oleh seorang gadis berotak miring yang ngakunya nge-rock tapi ternyata gak lebih sekedar gadis lebai dan cengeng.. d a y e n d - r o c k z - d a y e n d - r o c k z - d a y e n d - r o c k z

Sunday, May 3, 2009

Cerpen`Quw untuk kaLian..

Antara Aku, Dia dan Sahabatku

Dunia ini terasa kelabu. Semenjak dia pergi meninggalkan hatiku. Hanya kehampaan yang kurasakan. Sepinya hari dalam kesendirian. Membuatku muak untuk menjalani semua rencana kehidupan. Seluruh cinta dan pengorbanan yang kulakukan untuknya hanya terbuang sia-sia.

Adhitya, seorang pria yang selama ini aku cintai membuat hatiku pilu. Dulu, ia bagaikan seorang pangeran yang mampu menjagaku dan memberikan kebahagian tak ternilai untukku. Namun kini, ia telah berlalu. Menepiskan segala harapan dan khayalanku. Hanya meninggalkan segenggam kenangan indah yang tak mampu kulupakan. Dan kepahitan janji-janji yang tak tercapaikan.

Entah sudah berapa detik, menit, bahkan berapa jam kah aku duduk didepan komputer ini. Aku masih terdiam dalam lamunanku. Memikirkan sesuatu apa yang hendak aku tulis. Begitu banyak yang ingin aku ungkapkan. Namun aku tak pernah cukup mempunyai keberanian untuk membeberkan semua uneg-uneg dalam pikiranku.

Epilog

Dulu kukira ia seorang Pangeran

Yang mampu memberikanku kebahagiaan

Dengan cinta dan kasih sayangnya

Menyejukkan setiap langkah hari-hariku

Dulu kukira ia seorang Pahlawan

Yang mampu menjagaku dari ancaman

Dengan kegagahan dan kekuatannya

Melindungi setiap cobaan menghampiriku

Dulu kukira ia seorang Pemimpin

Yang mampu menuntunku menjalani hidup

Dengan kearifan dan kebijaksanaannya

Membawa kehidupanku kejalan yang lebih baik

Tapi, kini yang kulihat…

Ia tak pernah lagi mengucapkan kata cinta untukku

Ia tak lagi membantu dalam tautan hidupku

Ia tak lagi menemaniku disaat suka maupun duka

Ia tak lagi mengusapkan tangis di kedua mataku

Ia tak lagi menuntunku

Ia tak lagi menjagaku

Bahkan ia tak pernah mau lagi tersenyum untukku

Ia tak lagi…

Tidak pernah…

* * * * * * *

Kadang aku berpikir...

Dokter memvonisku “mati”. Aku terserang penyakit kanker otak stadium lanjut. Tubuhku lemah. Pantas aku sering sakit kepala yang tak tertahankan. Kukira gejala ini hanya sekedar depresi pikiran karena masalah-masalahku yang sering aku tumpuk dikepala. Namun ternyata rasa stress itu justru tambah membuat rasa sakit ini menyebar.

Aku mulai menulis. Dan aku terus menulis. Aku tak pernah bosan melakukannya. Karena hanya seperti ini caraku mencurahkannya. Dalam selembar kertas kusam dan goresan pena, kuteruskan untuk menulis. Kulukiskan kata-kata yang tersembunyi dalam hatiku.

Kuuraikan semua kejadian tentang hidupku, tentang cintaku. Mungkin dengan cara seperti ini aku mampu memberikan kesan-kesan terakhir untuk orang-orang yang aku cintai. Menuliskan sebuah cerita tentang mereka dalam sebuah buku. Aku ingin membuat novel. Yang menceritakan kejadian-kejadian tentang diriku dan mereka yang kucintai.

Teringat kejadian di kampus tadi. Aku begitu teriris hati. Aku melihat senyum manis dari ujung mataku. Ada canda dan kebahagian dari raut wajahnya. Tapi yang aku lihat, senyum dan canda itu bukan untukku. Dia bisa tersenyum dan bersenda gurau dengan berbagai wanita, dengan semua teman-temannya. Senyum dan canda yang dulu sering ia beri untukku. Namun kini, sedikitpun tak ia tebarkan untukku. Ia begitu angkuh padaku. Entah apa alasannya memperlakukan aku seperti itu. Aku tak mengerti.

Aku masih mencintainya. Namun apakah dia pernah mengerti dan mau mengerti bahwa aku butuh dia. Hanya dalam waktu beberapa bulan ini saja. Karena aku tak tau sampai kapan aku bisa bertahan dengan penyakitku ini. Dokter saja bilang kalo paling lama aku hanya bisa bertahan 3 bulan.

Aku menahan rasa sakit dikepalaku. Tubuhku makin lemas. Aku berteriak, namun siapa yang dengar? Tak ada yang datang menemuiku. Entah pada pergi kemana sumua makhluk di kost-kostanku. Rasa sakit itu kian mencabik-cabik kepalaku. Aku terhujam jatuh kelantai. Rasanya semua benda disekitarku mulai berputar-putar. Aku berusaha bangkit. Mencoba mengambil handphoneku didalam tas. Siapa yang harus kuhubungi? Ternyata pulsaku limit. Aku terjatuh kembali. Dan merasakan kegelapan mulai menyelumuti kelopak mataku.

* * * * * * *

Kadang aku berfikir...

Mengapa aku tak mengalami amnesia saja! Agar aku mampu melupakan segala masalahku. Agar aku mampu melupakan semua kenangan indah bersama Adhitya, yang sekarang menjadi beban untukku. Karena aku tak mampu melupakan Adhitya yang telah melupakanku.

Aku berjalan menelusuri kampus bersama sahabatku, Tio, hendak mencari makan diluar kampus. Kita berencana makan batagor di depan Fakultas Teknik. Karena Tio tidak membawa motor, akhirnya kita memutuskan untuk jalan kaki saja. Untuk lebih dekat ke tempat tujuan, kita melewati jalan kecil belakang kampus.

Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Dikala kami melewati sebuah kost-kostan wanita. Didepannya ada motor Adhitya. Samar-samar kudengar mereka bercakap-cakap. Sungguh hancur hatiku, karena wanita itulah yang telah membuat pertengkaran-pertengkaran aku dengan Adhitya selama ini. Ternyata mereka masih berhubungan. Lalu aku? Apakah Adhitya akan main ke kostanku? Untuk sms dan menyapaku saja dia tidak pernah.

Apa yang terjadi Tuhan? Mengapa Engkau melakukan ini padaku? Mengapa Adhitya begitu tega padaku? Dimana cintanya selama ini? Dimana janji-janji yang ia ungkapkan dulu untukku? Janji untuk mencintaiku, janji untuk setia, janji untuk menerimaku apa adanya, dan janji untuk tanggungjawab padaku. Dimana Adhityaku yang dulu Tuhan? Apakah Adhitya benar-benar jatuh cinta pada wanita itu? Atau dia memang sengaja menyakiti perasaanku? Aku tak percaya dia tega melakukan itu padaku. Aku mulai berjalan cepat menjauhi rumah itu. Tio mengikutiku. Dia mulai mengalihkan perhatianku dan menenangkanku. Dia mencoba menghiburku. Aku berlari dan berlari semakin kencang. Tak menghiraukan berapa banyak tetes air mata yang ku keluarkan. Tio mengejarku... tapi dia terlambat. Sebuah mobil menghantam tubuhku seketika. Tio berteriak “Sella...”

Aku tak sadarkan diri hingga beberapa hari. Entah berapa banyak jarum menusuk ditubuhku. Bau aroma rumah sakit menyengat hidungku. Serta bau anyir darah yang mulai mengering membuatku ingin muntah.

“Sella... Bangun... Aku disini nemenin kamu... Aku udah beli pulsa nih... Katanya kamu mau smsan... Ayo kita smsan...”

“Sella... Kamu kan udah janji mau nemenin aku kerumah Alin... Kapan kita pergi kesana... Aku udah kangen banget sama Alin. Kamu bangun donk... Temenin aku...”

“Sella... Kamu katanya pengen jalan-jalan ke Cilacap... Katanya kangen sama Adhitya... Katanya pengen ketemu Adhitya... Ini Adhitya sekarang udah disini... Coba buka mata kamu... Adhitya udah dateng...”

“Sella... Bangun...!!!”

Isak suara Tio terdengar samar-samar ditelingaku. Keheningan menyertai kamar Cempaka No.4 itu.

Tio membuatku terbangun dengan isak tangisnya. Koma panjang yang membuat lelap tidurku selama beberapa hari telah menusuk saraf-saraf otakku. Terasa samar mata ini mulai kupaksakan untuk terbuka. Tapi, siapakah seseorang yang ada disampingku ini? Siapa mereka…?

* * * * * * *

Kadang aku berfikir…

Begitu sakit hati ini selalu melihat dia bersama wanita itu. Entah wanita keberapa dalam hitunganku yang pernah dekat dengannya. Begitu luka menyobek-nyobek perasaan ini ketika ku tau bahwa Adhitya menjalin cinta dengannya. Hancurlah cinta yang kuperjuangkan selama ini. Begitu kusadari dari lisan Adhitya bahwa selama ini dia hanya mempermainkanku, dia hanya iseng padaku, dia meyakinkan aku bahwa ia takkan pernah kembali padaku, begitu aku merasa Adhitya benar-benar menghancurkan hidupku. Kenapa ia tega melakukan semua ini padaku ?

Adhitya mengajarkan aku arti sebuah cinta. Adhitya mengajarkan aku arti sebuah hidup. Adhitya mengajarkan aku arti sebuah kebahagiaan. Adhitya mengajarkan aku arti sebuah kebencian.

Aku selalu melihat Adhitya. Dari ujung mataku, aku selalu membayangkan, dia dulu selalu bersamaku. Setiap saat aku melihat Adhitya bersamanya, seolah aku melihat diriku sendiri sedang bersama Adhitya.

Bunuh diri ? Apakah cara yang tepat untuk menyelesaikan segala masalah ? Agar tidak ada lagi beban yang menguras otakku. Tapi, jika aku bunuh diri, apakah dia akan peduli ? Jika aku bunuh diri, apakah dia akan menangisi kematianku ? Jika aku bunuh diri, apakah dia akan menyesali segala perbuatan yang dilakukannya untukku ? Mungkin juga tidak !

Hari ini aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Benar-benar ingin aku lakukan. Tapi, kembali aku tersadar, bergunakah apa yang aku lakukan ini. Aku hanya kehilangan seorang Adhitya. Jikalau aku mati, berapa banyak orang yang mencintaiku yang akan kehilangan diriku. Mama, Kakakku, sahabat-sahabatku, dan mungkin masih banyak lagi.

* * * * * * *

Ketakutan selalu menghantuiku. Ketakutan akan kehilangan Adhitya untuk selamanya. Namun, sebuah kekuatan meyakinkan aku. Bahwa aku takkan pernah kehilangan Adhitya, karena ia akan tetap hidup didalam hatiku. Sebuah ruang akan selalu kubukakan untuk kehadiran Adhitya. Entah sampai kapan, yang mungkin suatu saat aku akan menutup pintu tersebut.

Tersentak ku terjaga dari lamunanku. Ya Tuhan, selama ini aku sealu berfikiran buruk tentang diriku. Mengharapkan sebuah penyakit datang menyerangku. Mengharapkan kecelakaan terjadi pada diriku. Mengharapkan kematian melandaku. Yang tanpa kusadari bahwa aku tak bernasib seburuk yang kufikirkan. Aku selalu mengira Tuhan tidak adil untukku. Memberikanku penderitaan seperti ini. Namun tidak ! Tuhan masih sayang padaku. Aku bukanlah orang yang paling menderita didunia ini. Masih banyak orang yang lebih menderita dibandingkan aku.

Kembali ku mengusap air mataku. Memberikan semangat pada diriku sendiri. Teringat ku akan kedua sahabat terbaikku. Sahabat yang mungkin selama ini tak pernah kuhiraukan.

Fitri Riyadiana, seorang sahabat terbaik dan terdekatku. Aku baru tersadar apa yang terjadi padanya. Perasaan bersalah menghujam diriku. Sudah hampir 5 bulan ini ia berjuang keras melawan sakit dikepalanya karena tumor otak. Selama ia 2 bulan di Purwokerto, aku selalu menjaga dan menemaninya. Mengantarkan dan menjemput ia kuliah. Hingga akhirnya ia pulang ke kampung halamannya entah untuk pengobatannya berapa lama.

Aku rindu padanya. Seandainya ia ada disini, pasti aku sudah menceritakan keluh kesahku tentang Adhitya padanya. Namun, ia tak ada. Sedangkan Rina, sahabatku yang satu lagi sedang sibuk dengan kekasihnya. Aku harus bercerita pada siapa ?

Ya Tuhan, seharusnya aku memberikan semangat untuk Fitri. Bukannya malah mau mengakhiri hidup. Harusnya aku malu padanya. Dia berjuang keras untuk hidup. Aku malah berjuang keras untuk mati. Astaghfirullah…

Tuhan, seandainya saja aku bisa menukarkan kehidupanku dengan kehidupan Fitri, mungkin aku akan rela. Tapi, apa bisa aku melakukan semua itu. Semua ini sudah takdir-Mu. Atas kuasa-Mu, Ya Robbi.

“Ya Tuhan, aku telah kehilangan Adhitya, orang yang aku cintai. Jangan biarkan aku juga kehilangan Fitri, sahabat yang aku sayangi. Jangan ambil mereka Tuhan..” Lirihku dalam hati.

* * * * * * *

Diantara kepedihan hatiku, saat aku ingin bunuh diri, banyak orang yang melarangku. Mereka meyakinkan aku dan memberikanku semangat. Tio dan mereka semua sahabat-sahabatku, memberikanku ketegaran hidup. Mengajari aku tentang keikhlasan cinta. Keikhlasan cinta untuk tidak memaksakan ego ingin memiliki. Keikhlasan cinta untuk memberikan kebahagiaan untuk orang yang dicintai walaupun menyakitkan hati.

Handphone dalam saku celanaku bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Kupandang cukup lama layar handphone tersebut. “Nomor siapa yah..” Bisikku dalam hati heran.

Ku angkat telepon itu, tenyata dari Rina, sahabatku yang satu lagi, selain Fitri. Dulu sejak awal perkuliahan sampe setahun lebih, kita selalu bersama-sama bertiga. Kita udah kaya roda becak, ga bisa dipisahin. Tak ada rahasia diantara kita. Kita selalu bermain bersama. Ngerjain tugas bersama, bercanda, dan selalu sama-sama. Kebersamaan kita mulai renggang, disaat aku pacaran dengan Adhitya. Keseharianku selalu tertuju untuk Adhitya dan selalu bersama Adhitya. Dan Fitri lebih menyibukkan dirinya dengan kekasih baru dan mantannya. Sedangkan Rina, tak ada cerita yang bisa ku ungkapkan. Disaat aku dan Fitri bahagia, Rina hanya sendiri.

Aku putus dengan Adhitya. Fitri mendapatkan musibah, bahwa Ayahandanya meninggal dunia. Aku masih dilanda kesedihan akan kehilangan Adhitya. Fitri mengalami sakit parah. Sedangkan Rina, mendapatkan kebahagian yang selama ini mencarinya. Rina balikan lagi sama mantan pacarnya dulu. Dan ia seakan sibuk dengan urusannya sendiri.

Aku masih menggenggam teleponku. Mendengarkan cerita Rina dari ujung seberang. Hingga telingaku terasa panas, aku masih setia mendengarkan kisahnya. Tersentak kaget, aku sungguh tak pernah menyangka akan semua ini. Dia berantem sama pacarnya. Dan ia berkata “ingin bunuh diri”, karena tak kuat dengan semua masalah yang menerimanya.

Baru beberapa hari yang lalu, aku ingin bunuh diri. Tapi sekarang, aku mendengarkan sahabatku ingin bunuh diri. Sungguh menyakitkan. Ternyata gak enak yah denger orang mau bunuh diri...? Aku kembali menyadari satu hal. Bagaimana perasaan mereka, orang-orang yang dengar keluh kesahku kalo aku ingin bunuh diri.

Hu`uh… Tuhan, masalah apalagi ini. Apa yang kau limpahkan padaku. Apakah Kau ingin meyadari aku bahwa aku harus belajar untuk menjalani dan menghadapi semua masalah ini. Apakah Kau ingin memberikan aku ketegaran hidup.

Siapa yang harus kupilih Tuhan ? Siapa yang harus kupikirkan ? Memperjuangkan cintaku untuk Adhitya yang telah melukaiku ? Memberikan semangat hidup serta doa untuk Fitri yang sedang sakit ? Atau membantu Rina menyelesaikan masalahnya yang rumit serta memberikannya semangat ? Siapa yang harus aku dahulukan Tuhan…?

* * * * * * *

Cerpen ini kupersembahkan untuk empat orang tokoh yang sangat aku sayangi…

Fitri, Rina, Adhitya, Tio..

Purwokerto, 04 Maret 2008

Dian Putri Prameswari


** Adhitya : bukan nama sebenarnya..

** Tio : bukan nama sebenarnya


0 comments: